Rabu, 03 September 2014

Lagi-lagi, Kamu.

Hai, kamu . . .
Bagaimana harimu? Apakah kamu baik-baik saja? Malam ini aku ingin sedikit banyak berbagi cerita, meski aku tau kau tak kan mungkin membaca ini. Tapi sudahlah, ini hanya sekilas tentang beberapa bait kata yang ku rangkai menjadi sebuah cerita. Ya, cerita tentang kita, lagi.
Kamu masih ingat? Dua pekan yang lalu, saat kita menghabiskan waktu seharian penuh bersama teman-temanku 'di sana'. Atau tiga pekan yang lalu, ketika kamu muncul kembali menyemangatiku yang tengah menghadapi ujian akhir semester, disaat aku mulai frustasi akan hilangnya dirimu. Bahkan beberapa bulan yang lalu, saat kita memutuskan untuk saling bertemu setelah sekian lama pertemuan nyata itu tak berwujud. Tidak? Sama sekali tidak? Baiklah, jika kamu sudah lupa, tak apa. Tapi aku yakin, kamu pasti mengingatnya, meski tak setajam aku mengingat setiap detailnya. Aku mengerti, itu bukan hal penting yang mesti selalu kamu ingat, bukan.

***

Pagi ini, aku berharap bisa menemukanmu. Setidaknya, jika kita tidak bisa saling menyapa, aku hanya ingin melihatmu, sejenak mengobati rindu ini setelah beberapa hari kemarin kamu menghilang –lagi. Mungkin ini sudah yang ke sekian kalinya, kamu selalu datang saat aku ingin melupakan, lalu tiba-tiba pergi tanpa sepatah kata yang terucap dan menghilang, entah sampai berapa lama.
Sejak kemarin, aku sudah menantikan hari ini. Yah, hari ini, penghujung minggu. Hari yang biasanya mempertemukan kita. Ahh, sepertinya aku berlebihan, ya, kalau harus menggunakan kata ‘biasanya’. Toh, pada kenyataannya tidak melulu kita bertemu di setiap penghujung minggu. Tapi setidaknya, aku mulai terbiasa dengan adanya kamu di penghujung minggu selama beberapa pekan kemarin. Sehingga sulit untukku untuk menerima hari ini dan pekan lalu tanpa adanya kamu. Aku sudah merencanakan pertemuan kita –yang justru akulah yang paling menginginkannya- setelah jam akhir kuliahku selesai. Berbagai khayalan tentang apa-apa yang akan kita lakukan sudah menari-nari di kepalaku. Aku tak sabar ingin memulainya. Menjelang siang, aku baru ingat kalau ternyata aku melupakan poin pentingnya. Aku tak memikirkan bagaimana caranya agar aku bisa menemukanmu. Karena, -lagi lagi aku menyebutnya- biasanya bukan aku atau kamu yang mencari tau tentang bagaimana kita saling menemukan. Sebab kita lebih banyak terlibat dalam ‘pertemuan tak terencanakan’, yang justru lebih terasa berkesan.

Aku melangkah gontai dari rumah. Beberapa hal yang tadinya aku rencanakan, terpaksa harus gagal. Begitu juga dengan rencanaku untuk menemuimu -melihatmu- pagi ini. Sepanjang perjalanan tol Jakarta-Merak, aku hanya diam memandang dari balik jendela. Terlintas beberapa pemikiran tentang kita saat ini. Sudah beberapa hari ini kamu menghilang. Entah kamu sengaja atau tidak, aku sungguh tak tau. Aku hanya bisa berharap, Tuhan mau berbaik hati padaku dan mempertemukan kita. Ahh, lagi-lagi terlihat disini, hanya aku yang selalu merindukan pertemuan kita, kan. Kamu? Entahlah. Kamu tak bisa aku tebak. Sesekali kamu terlihat sangat senang dengan pertemuan kita –dan itu sungguh membuatku percaya bahwa harapan itu masih ada- tapi di lain waktu kamu lebih suka menghilang tanpa kabar –yang membuatku sadar bahwa pertemuan kita tak berarti apapun untukmu-. Keadaan seperti inilah yang terkadang membuatku berpikir. Siapa aku dimatamu? Saat aku memposisikan kamu sebagai seseorang yang begitu penting dan menyisakan sekeping hati untukmu. Sebaliknya kah denganmu? Bahkan tersadar, ketika aku mati-matian memperjuangkanmu –meski nyataku tau aku bukanlah yang kau perjuangkan- dan mengeliminasi mereka yang ingin memperjuangkanku, kamu tau itu? Aku rasa tidak, bukan.

Aku sampai dikelas. Hari ini aku harus mengikuti empat mata kuliah. Mungkin sampai dzuhur menyapa siang nanti. Aku tau, kamu pasti sedang tidak dirumah, kan. Tapi aku tak tau kamu dimana, dear. Aku masih menaruh harap pada senja nanti yang akan membuat aku bisa menemukanmu. Semoga . . .
Kamu tau? Dua pekan lalu –jika kamu masih mengingatnya- ketika kita menghabiskan waktu seharian penuh dengan teman-temanku, itu menimbulkan pandangan berbeda dari mereka. Beberapa dari mereka melihat kita sebagai sepasang kekasih. Beberapa lagi, menanyakan tentang hubungan kita. Bahkan sepertinya mereka benar-benar percaya kita sudah menjalin hubungan yang lama. Kamu tau apa yang aku rasakan, dear? Miris. Memori otakku memaksaku mengingat kembali tentang hari itu. Genggaman tanganmu sepanjang hari itu. Tatapan matamu hari itu. Usapan lembut tanganmu dikepalaku. Bahkan ketika aku –entah itu mimpi atau nyata- mendapatkanmu ada di ruang depan rumahku. Ahh, semua begitu manis, dear. Sehingga tak terbayang sedikitpun bahwa aku akan kehilanganmu lagi seperti hari ini.

“Mending udahin deh. Gue rasa, lo udah terlalu berjuang buat dia. Nyatanya? Dia ngilang lagi kan? Gue pikir kali ini lo sama dia akan bener-bener jadi”
“Iya. Gue tau kok. Dan gue udah sadar dari awal, kalo emang Cuma gue yang berjuang buat bisa deket sama dia. Yaa, lo tau sendiri kan gimana dan sejak kapan gue suka sama dia.”
“Nah itu dia. Udah tau kaya gitu. Lo masih aja ngarepin dia.”
“Gimana ya, dia itu suka dateng dan pergi sih. Saat gue udah mulai cape, mulai bosen nunggu, gue udah niat mau lupain, tapi dia malah dateng ke gue. So, kalo lo jadi gue, lo bakal nolak? Ngga, kan”
“Ya, sih. Tapi saran gue, mending kali ini lo harus belajar cuek deh sama dia. Buat dia yang ngejar-ngejar lo. Buat dia yang ngerasa penasaran sama lo. Jangan Cuma lo aja yang kaya gitu.”
“Ahh, rasanya gak mungkin deh. Dia itu selingannya banyak. Lo tau sendiri dia kaya apa. Siapa coba yang gak kenal dia? Mana mungkin dia penasaran sama gue.”
“Yasudahlah kalo gitu. Gue Cuma doain yang terbaik aja deh buat lo. Semoga perjuangan lo ke dia cepet membuahkan hasil, ya”
“Hehe makasih ya....”

Aku berpikir tentang percakapanku dengan teman dekatku di kelas sore tadi. Mungkin benar apa yang dia katakan. Aku sudah terlalu berjuang untukmu. Bahkan aku berhasil membuat mereka –yang memandang kita- percaya, aku dan kamu adalah sepasang kekasih –meski hanya sebuah praduga tak bersalah-.
Ahh, akhirnya kuliah hari ini selesai. Senja hampir sampai. Aku masih belum menemukan tanda aku menemukanmu. Aku masih bertanya –meski tak ada jawaban- ‘dimana kamu?’. Dan, sepertinya hari ini aku enggan pulang. Aku masih ingin menemukanmu, dear. Tapi dimana? Berkali aku membuka kontak whatsapp-mu, tak ada petunjuk apapun disana. Bahkan, pesan singkat terakhirku tadi malam, sama sekali tak kau gubris. Aku buka lagi akun facebook-mu, berharap aku mendapatkan petunjuk dari sana. Tapi lagi-lagi nihil. Ahh, apa kamu sengaja menghilang dariku kali ini, dear? Apa aku berbuat sesuatu yang salah? Pada akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke toko buku di daerah Matraman bersama temanku tadi. Yah, setidaknya aku memiliki tujuan selanjutnya –setelah aku cerita padanya bahwa aku sedang tak ingin pulang-. Aku menghabiskan waktu hampir dua jam –setelah aku yakin temanku mulai bosan berlama lama- disana. Dan membawa pulang sekitar empat buah buku. Yah, aku cukup puas hari ini ini ku tutup dengan menghabiskan waktu disini. Kita berpisah di halte transjakarta, karena kita berbeda arah pulang. Baiklah, sendirian lagi. Aku harus siap jika di tengah perjalanan nanti di sergap oleh berbagai macam kenangan tentangmu lagi –yang sering muncul terlebih jika aku sedang sendirian-.

Yah, aku duduk sendiri di dalam transjakarta ini. Karena tak ada penumpang lain yang aku kenal. Dari halte Matraman, aku harus transit di halte Harmoni jika aku ingin pulang ke rumah. Baiklah, aku berusaha menikmati perjalanan sendirian ini. Beberapa menit, akhirnya aku sampai di halte Harmoni. Ahh, benar saja. Baru aku menginjakkan kaki disana, ‘kenangan’ itu sudah menyergapku terbih dahulu. Memandang sekeliling, aku hanya tersenyum. Halte ini memang selalu ramai. Bahkan tak jarang aku harus berdesakkan dengan penumpang lain untuk menaiki transjakarta jurusan selanjutnya. melihat keramaian itu, aku teringat ketika kita disini beberapa bulan lalu. Saat kamu menggenggam tanganku –untuk pertama kali- untuk memastikan kita tidak terpisah di tengah keramaian penumpang yang begitu membludak senja itu. Aku spontan menyunggingkan senyum. Andai kamu disini sekarang, dear. Mungkin tangan kananku tak akan tergantung bebas seperti sekarang, karena ada kamu yang mengisi celah jemariku disana. Seperti kala itu, saat kita melewati senja yang terkesan lebih indah dari biasanya. Berjalan tanpa arah mengikuti arus yang membawa kita pada apapun disana. Aku sungguh menikmati hari itu, dear. Bahkan ketika kamu mengirimkan chat whatsapp setelahnya, bahwa kamu menganggap moment hari itu adalah yang terbaik. Kau tau? Aku sungguh bahagia kala itu.

Dan, akhirnya aku sampai ditujuan terakhir. Halte Grogol. Aku berjalan di atas jembatan penyebrangan –kali ini sendirian-. Aku masih ingat ketika percakapan kita mengiringi langkah kita pulang senja itu –di tempat yang sama-. Ahh, lagi-lagi aku memikirkanmu. Padahal sejak beberapa hari lalu tak ada kabar atau berita yang sampai ditelingaku darimu. Beberapa hari chat whatsaap-ku tak ada namamu. Bahkan twitter dan facebook pun tak mengindikasikan kau berusaha mencariku, atau setidaknya menyapaku. Tergolong bodoh, memang. Ketika aku masih saja mengharapkan seseorang yang sudah jelas-jelas sama sekali tak menaruh perhatian sedikitpun padaku. Terlalu muluk, memang. Jika aku begitu yakin kalau masa depanku adalah kamu. Aku tak bermaksud menyalahi kehendak Tuhan yang telah mengatur segalanya tentang kita. Tapi aku hanya berharap dan berusaha membuatnya menjadi benar-benar nyata. Sebenarnya, salahkah jika aku terlalu menyukaimu seperti ini? Bahkan ketika sudah beberapa kali dan beberapa orang berbicara negatif tentangmu, tentang perjuanganku mendapatimu. Ini kali kedua –setelah beberapa tahun lamanya- aku terlalu memperjuangkan seorang pria dalam hidupku. Meski jawabnya belum pasti terarah padaku.

***

Pukul 9 malam tepat. Aku sampai dirumah. Hari ini begitu banyak memori dan kenangan yang terpaksa menjejal masuk mendominasi benakku. Dan aku masih belum tau kabar tentangmu, dear. Sampai kapan kau akan menghilang seperti ini? Bisakah kita bertemu lagi? Bisakah kita menghabiskan waktu bersama lagi? Aku merindukanmu . . .




September 28, 2013
-dari wanita pengagummu, yang tak tau diri-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar